Dibangku sekolah, seorang siswa
dijejali dengan berbagai ilmu pengetahuan, termasuk norma-norma hidup
dalam berkehidupan. Sekolah yang awalnya sebagai tempat menimba ilmu
sekaligus menghancurkan kebodohan, namun pada akhir-akhir ini sekolah
merupakan tempat mempelajari trik bagaimana meraih nilai berupa nominal
tanpa ada arti sebenarnya nilai tersebut.
Hak asasi siswa dalam
memilih untuk lebih specialis ke bidang pelajaran tertentu terpaksa
dihilangkan karena mau tidak mau mereka harus berburu angka demi
kelulusan. Tidak peduli apakah dia anak pandai atau bodoh, selama mampu
memenuhi target nilai itu ia selamat dari caci maki dan sumpah serapah
orang tua yang keberatan menanggung biaya sekolah apabila anaknya tidak
sampai lulus. Dan tak ayal lagi berbagai cara ditempuh untuk memenuhi
target itu, dari yang nyontek secara tradisional (membuat catatan kecil
di paha, lengan serta perut) sampai membayar mahal seorang joki.
Dan
sudah menjadi rahasia umum beberapa oknum guru menggunakan kesempatan
ini untuk mendapat uang komisi dengan menggelar jasa sebagai joki saat
ujian nasional. Ada apa dengan sistem pendidikan Indonesia ini...???
Sekolah
bukan lagi tempat yang nyaman untuk belajar. Sekolah menjadi neraka
bagi mereka dengan takdir otak yang pas-pasan ditambah dengan ekonomi
keluarga yang pas-pasan pula. Sekolah menjadi tempat yang secara
terpaksa harus mereka datangi karena titel di negeri ini lebih
dibutuhkan dari pada skill seseorang. Artinya sepandai dan sepinter
apapun orang itu tanpa menyandang titel dari sekolah dimana ia belajar,
maksimal ia akan dapat kerjaan ngepel kantor, atau pembuat minuman teh
di kantor-kantor ( Office Boy ). Kecuali ia berani berjuang da jalur
swasta, dan kayaknya itulah satu-satu jalan menuju kesuksesan tanpa
harus menghiba belas kasihan pemerintah untuk dijadikan PNS.
Lingkungan
sekolah yang penuh tekanan, karena target-target yang harus tercapai,
maka imbasnya adalah siswa telah belajar untuk meraih target nilai
bagaimanapun caranya. Nilai adalah dewa yang harus disembah, sementara
dewa itu buta dan budek, tidak akan tahu cara siswa bagaimana mereka
menyembahnya. Walhasil Indonesia telah sukses menciptakan generasi yang
hanya fokus pada target dengan menghilangkan rasa manusiawi pada dirinya
sendiri. Nilai hidup hanyalah sekumpulan nilai. Hidup berarti menumpuk
harta bagaimanapun caranya. Yang mereka tahu 1 + 1 adalah 2.
Sementara
saat-saat pelaksanaan belajar dan mengajar di sekolahan berarti biaya
yang harus ditebus juga entah apapun caranya, tidak jarang orang tua
yang harus menjadi maling, menjual diri, merampok..sekedar ingin melihat
anaknya menjadi manusia sekolahan. Setidaknya apabila terpaksa menjadi
maling, anaknya nanti menjadi maling yang bermatabat, maling dari
lingkungan terhormat, tidak seperti dirinya yang hanya mampu menjadi
maling ayam atau kambing tetangga.
Mungkin sudah takdir Indonesia
menjadi negara kacau balau..... namun ada setitik harapan "Tuhan tidak
akan merubah nasib suatu kaum apabila mereka tidak berusaha merubahnya
sendiri..."
NPSN : 10800266 Jln. SPONTAN Desa SIDOREJO Kec. SIDOMULYO Kab. LAMPUNG SELATAN Prov. LAMPUNG
Tentang RA Kartini
Museum Kartini- Jejak Sejarah Yang Terabaikan
Opini tentang Kebaya : Antara Keteraturan dan Keterkungkungan
Riwayat Hidup R.A Kartini - Antara Pernikahan dan "Poligami"
RA Kartini – Sebuah Inspirasi Bagi Wanita Indonesia
Biografi RA Kartini - Uraian Singkat dan Lengkap Tentang Kartini
SILABUS SD/MI