"TUHAN melaknat perbuatan korupsi: yang memberi dan yang menerima suap serta yang menjadi perantaranya,"
begitu lebih kurang makna sebuah hadits Rasulullah SAW yang sangat
dipegang teguh oleh para sahabat; pemimpin Islam setelah beliau SAW.
Salah satunya oleh Khalifah Umar ibn Al-Khattab ra.
Suatu kali, seorang pejabat negara kembali dan melaporkan adanya kelebihan kekayaan untuk baitul-mal sebanyak 400.000 dinar. Umar bertanya kepada pejabat yang ia tunjuk itu:
"Adakah saudara merugikan orang lain dengan harta itu?"
"Tidak," jawab si pejabat.
"Harta saudara sendiri berapa banyak?"
"Dua puluh ribu dirham".
"Dari mana saudara memperoleh itu?"
"Saya peroleh dari berdagang."
Mendengar
itu Khalifah Umar marah. "Kami menugaskan saudara sebagai penguasa,
bukan sebagai pedagang!! Kenapa saudara memperdagangkan harta umat
Islam?"
Kelebihan harta demikian itu oleh Umar diambil kembali
untuk negara dan hanya haknya yang semula dikembalikan pada pejabat itu.
Umar memandang salah bagi pejabatnya yang berdagang di saat berkuasa.
Sebab ia yakin, seorang pejabat yang berkuasa pastilah mendapatkan
fasilitas dan kemudahan dalam menjalankan bisnisnya lantaran kekuasaan
yang dimiliki. Dan kemudahan-kemudahan itu dianggap awal dari munculnya
kecurangan dalam jabatan. Selain itu ia berprinsip bahwa jika seorang
pejabatnya berdagang, pastilah pikiran dan tenaganya terbagi; di suatu saat ia harus melayani rakyat, disaat bersamaan iapun harus memikirkan bisnisnya.
Makna jabatan kala itu benar-benar ibadah dan untuk melayani rakyat,
bukan untuk melayani diri apalagi sampai memperkaya diri. Maka tak heran
jika tak satupun pejabat negara kala itu kaya raya yang dibuahkan
melalui jabatan mereka.
Demikian juga ketika ada pejabat yang
harus bertanggung jawab itu diketahui memiliki beberapa ekor kuda
seharga 1600 dinar, Khalifah yang terkenal tegas itu terkejut sekali
lalu diusutnya sampai ke akar-akarnya. Dia tak dapat menerima alasan
bilamana itu dikatakan dari hadiah orang, sebab hadiah demikian itu
bukan untuk pribadinya, melainkan untuk jabatannya. Khalifah yakin bahwa
si pejabat tadi pastilah tak diberikan hadiah sebesar itu bilamana ia
tidak sedang memangku jabatan.
Sikap kepedulian Khalifah dalam 'mencegah'
korupsi juga terlihat diawal-awal ia menunjuk pembantu-pembantunya.
Ketika ada seseorang yang akan diangkat memangku jabatan tinggi,
terlebih dulu harta kekayaan orang itu harus didaftar. Apabila setelah
selesai masa jabatannya, kekayaan itu dilapor-ulang. Jika melebihi
kepatutan, maka ia harus diserahkan untuk negara.
Tapi sungguhpun
begitu, Khalifah Umar selalu berhati-hati dan teliti dalam
hitung-menghitung kekayaan pejabatnya itu, agar tidak menimbulkan
kedzaliman baru bagi si pejabat.
Memang, kemungkinan
berlaku curang dalam memangku sebuah jabatan dapat dilakoni siapa saja,
tak peduli kapan zamannya dan bagaimana orangnya, apalagi kesempatan dan
peluang untuk berbuat curang itu sangat besar. Maka mungkin yang harus dilakukan hanyalah mempersempit gerak atau bahkan menghilangkan peluang dan kesempatan tersebut.
Apakah
negeri kita ini mau mempersempit dan menghilangkan peluang2 dan
kesempatan2 tersebut? Atau sebaliknya, justru dengan adanya kisruh KPK
belakangan ini malah membuka lebar-lebar celah untuk bercurang-ria?
Insya Allah jangan-lah...
NPSN : 10800266 Jln. SPONTAN Desa SIDOREJO Kec. SIDOMULYO Kab. LAMPUNG SELATAN Prov. LAMPUNG
Tentang RA Kartini
Museum Kartini- Jejak Sejarah Yang Terabaikan
Opini tentang Kebaya : Antara Keteraturan dan Keterkungkungan
Riwayat Hidup R.A Kartini - Antara Pernikahan dan "Poligami"
RA Kartini – Sebuah Inspirasi Bagi Wanita Indonesia
Biografi RA Kartini - Uraian Singkat dan Lengkap Tentang Kartini
SILABUS SD/MI