PENGERTIAN
MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (MBS)
Istilah
manajemen berbasis sekolah merupakan terjemahan dari “school-based management”.
MBS merupakan paradigma baru pendidikan, yang memberikan otonomi luas pada
tingkat sekolah ( pelibatan masyarakat ) dalam kerangka kebijakan pendidikan
nasional.
Menurut
Edmond yang dikutip Suryosubroto merupakan alternatif baru dalam pengelolaan
pendidikan yang lebih menekankan kepada kemandirian dan kreatifitas sekolah.
Nurcholis mengatakan Manajemen berbasis sekolah (MBS) adalah bentuk alternatif
sekolah sebagai hasil dari desentralisasi pendidikan.
Secara
umum, manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS) dapat diartikan
sebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dan
mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan secara langsung
semua warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, karyawan, orang tua siswa,
dan masyarakat) untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan
pendidikan nasional.
Lebih
lanjut istilah manajemen sekolah acapkali disandingkan dengan istilah
administrasi sekolah. Berkaitan dengan itu, terdapat tiga pandangan berbeda;
pertama, mengartikan administrasi lebih luas dari pada manajemen (manajemen
merupakan inti dari administrasi); kedua, melihat manajemen lebih luas dari
pada administrasi (administrasi merupakan inti dari manajemen); dan ketiga yang
menganggap bahwa manajemen identik dengan administrasi.
Dalam
hal ini, istilah manajemen diartikan sama dengan istilah administrasi atau
pengelolaan, yaitu segala usaha bersama untuk mendayagunakan sumber-sumber,
baik personal maupun material, secara efektif dan efisien guna menunjang
tercapainya tujuan pendidikan di sekolah secara optimal. Pengertian manajemen
menurut Hasibuan merupakan ilmu dan seni mengatur proses pemanfaatan sumber
daya manusia dan sumber-sumber lainnya secara efektif dan efisien untuk
mencapai tujuan tertentu. Definisi manajemen tersebut menjelaskan pada kita
bahwa untuk mencapai tujuan tertentu, maka kita tidak bergerak sendiri, tetapi
membutuhkan orang lain untuk bekerja sama dengan baik.
Berdasarkan
fungsi pokoknya, istilah manajemen dan administrasi mempunyai fungsi yang sama,
yaitu: merencanakan (planning), mengorganisasikan (organizing), mengarahkan
(directing), mengkoordinasikan (coordinating), mengawasi (controlling), dan
mengevaluasi (evaluation).
Menurut
Gaffar (1989) mengemukakan bahwa manajemen pendidikan mengandung arti sebagai
suatu proses kerja sama yang sistematik, sitemik, dan komprehensif dalam rangka
mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
1)
Tujuan MBS
a. Meningkatkan mutu pendidikan melalui
kemandirian dan inisiatif sekolah dalam megelola dan memberdayakan sumber daya
yang tersedia;
b.
Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan
pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama;
c. Meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada
orang tua, masyarakat, dan pemerintah tentang mutu sekolahnya; dan
d. Meningkatkan kompetisi yang sehat antar
sekolah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai.
Kewenangan
yang bertumpu pada sekolah merupakan inti dari MBS yang dipandang memiliki
tingkat efektivitas tinggi serta memberikan beberapa keuntungan berikut:
a. Kebijaksanaan dan kewenangan sekolah membawa
pengaruh langsung kepada peserta didik, orang tua, dan guru.
b. Bertujuan bagaimana memanfaatkan sumber daya
lokal.
c. Efektif dalam melakukan pembinaan peserta
didik seperti kehadiran, hasil belajar, tingkat pengulangan, tingkat putus
sekolah, moral guru, dan iklim sekolah.
d. Adanya perhatian bersama untuk mengambil
keputusan, memberdayakan guru, manajemen sekolah, rancangan ulang sekolah, dan
perubahan perencanaan.
2)
Manfaat MBS MBS memberikan beberapa manfaat diantaranya
a. Dengan kondisi setempat, sekolah dapat
meningkatkan kesejahteraan guru sehingga dapat lebih berkonsentrasi pada
tugasnya;
b. Keleluasaan dalam mengelola sumberdaya dan
dalam menyertakan masyarakat untuk berpartisipasi, mendorong profesionalisme kepala
sekolah, dalam peranannya sebagai manajer maupun pemimpin sekolah;
c. Guru didorong untuk berinovasi;
d. Rasa tanggap sekolah terhadap kebutuhan
setempat meningkat dan menjamin layanan pendidikan sesuai dengan tuntutan
masyarakat sekolah dan peserta didik.
PENERAPAN
MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (MBS)
Sekolah
adalah salah satu dari Tripusat pendidikan yang dituntut untuk mampu menjadikan
output yang unggul, mengutip pendapat Gorton tentang sekolah ia mengemukakan,
bahwa sekolah adalah suatu sistem organisasi, di mana terdapat sejumlah orang
yang bekerja sama dalam rangka mencapai tujuan sekolah yang dikenal sebagai
tujuan instruksional.
Desain
organisasi sekolah adalah di dalamnya terdapat tim administrasi sekolah yang
terdiri dari sekelompok orang yang bekerja sama dalam rangka mencapai tujuan
oranisasi.
MBS
terlahir dengan beberapa nama yang berbeda, yaitu tata kelola berbasis sekolah
(school-based governance), manajemen mandiri sekolah (school self-manegement),
dan bahkan juga dikenal dengan school site management atau manajemen yang
bermarkas di sekolah.
Istilah-istilah
tersebut memang mempunyai pengertian dengan penekanan yang sedikit berbeda.
Namun, nama-nama tersebut memiliki roh yang sama, yakni sekolah diharapkan
dapat menjadi lebih otonom dalam pelaksanaan manajemen sekolahnya, khususnya
dalam penggunakaan 3M-nya, yakni man, money, dan material.
Penyerahan
otonomi dalam pengelolaan sekolah ini diberikan tidak lain dan tidak bukan
adalah dalam rangka peningkatan mutu pendidikan. Oleh karena itu, maka
Direktorat Pembinaan SMP menamakan MBS sebagai Manajemen Peningkatan Mutu
Berbasis Sekolah (MPMBS).
Tujuan
utama adalah untuk mengembangkan rosedur kebijakan sekolah, memecahkan
masalah-masalah umum, memanfaatkan semua potensi individu yang tergabung dalam
tim tersebut. Sehingga sekolah selain dapat mencetak orang yang cerdas serta
emosional tinggi, juga dapat mempersiapkan tenaga-tenaga pembangunan. Oleh
karena itu perlu diketahui pandangan filosofis tentang hakekat sekolah dan masyarakat
dalam kehidupan kita. sekolah adalah bagian yang integral dari masyarakat, ia
bukan merupakan lembaga yang terpisah dari masyarakat, hak hidup dan
kelangsungan hidup sekolah bergantung pada masyarakat, sekolah adlah lembaga
sosial yang berfungsi untuk melayani anggota2 masyarakat dalam bidang
pendidikan, kemajuan sekolah dan masyarkat saling berkolerasi, keduanya saling
membutuhkan, Masyarakat adalah pemilik sekolah, sekolah ada karena masyarakat
memerlukannya.
Menurut
BSNP Depdiknas (2006) dan Mulyasa (2006), penyusunan KTSP merupakan bagian dari
kegiatan perencanaan sekolah/madrasah. Langkah-langkah yang dapat dilakukan
adalah:
1.
Melakukan
koordinasi dengan dinas pendidikan setempat
2.
Melakukan
analisis konteks
3.
Penyiapan
dan penyusunan draf
4.
Reviu
dan revisi draf
5.
Finalisasi
draf
6.
Pemberlakuan
KTSP
Koordinasi
perlu dilakukan oleh kepala sekolah dalam merencanakan dan menyusun KTSP.
Kegiatan koordinasi sekurang-kurangnya menyangkut dua kegiatan sebagai berikut:
Melakukan
koordinasi mengenai rencana penyusunan KTSP dengan dinas pendidikan
kabupaten/kota setempat Menghubungi ahli pendidikan setempat untuk diminta
bantuannya sebagai nara sumber dalam kegiatan penyusunan KTSP.
Analisis
konteks merupakan kegiatan yang mengawali penyusunan KTSP. Kegiatan ini dapat
dilakukan dalam rapat kerja atau lokakarya yang diikuti oleh tim penyusun KTSP.
Kegiatan menganalisis konteks mencakup dua hal pokok, yaitu: Analisis potensi
dan kekuatan/kelemahan yang ada di sekolah (peserta didik, pendidik dan tenaga
kependidikan, sarana prasarana, biaya, dan program-program yang ada di
sekolah). Analisis peluang dan tantangan yang ada di masyarakat dan lingkungan
sekitar (komite sekolah, dewan pendidikan, dinas pendidikan, asosiasi profesi,
dunia industri dan dunia kerja, sumber daya alam dan sosial budaya).
Mengidentifikasi
standar isi dan standar kompetensi lulusan sebagai acuan dalam penyusunan KTSP.
Setelah tim penyusun KTSP memahami potensi dan kekuatan/kelemahan sekolahnya,
serta peluang dan tantangan yang ada di masyarakat dan lingkungannya, tibalah
saatnya tim mulai bekerja menyiapkan dan menyusun draft KTSP. Kegiatan ini
dapat juga dilakukan dalam suatu rapat kerja atau lokakarya yang dihadiri oleh
seluruh anggota tim penyusun KTSP. Tahapan-tahapan dalam manajemen mutu KTSP,
dimulai dari perumusan perangkat KTSP dengan melibatkan stake holders sekolah,
yang terdiri atas:
(1)
pengembangan silabus,
(2)
penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran, dan
(3)
penyusunan perangkat evaluasi berbasis kelas.
Adapun
stake holder sekolah yang dilibatkan dalam perumusan perangkat KTSP adalah:
kepala sekolah (ketua merangkap anggota), guru (anggota), konselor sekolah
(anggota), komite sekolah (anggota), ahli pendidikan (nara sumber), dinas
pendidikan (koordinasi dan supervisi).
Dalam
KTSP tersebut juga dirumuskan kriteria ketuntatasan minimal (KKM) yang harus
dicapai oleh peserta didik pada masing-masing mata pelajaran dan kelas.
Pengontrolan atas mutu KTSP yang dirumuskan oleh sekolah beserta dengan stake
holdersnya dilakukan dengan membandingkan dengan kisi-kisi evaluasi KTSP baik
dari segi rumusannya, pihak-pihak yang terlibat dan dari segi substansinya.
Manajemen
pembelajaran adalah sebagai kelanjutan dari manajemen mutu kurikulum. Jika
manajemen mutu kurikulum terkait dengan aspek rumusannya, maka manajemen mutu
pembelajaran terkait dengan implementasi kurikulum di tingkat kelas. Dalam
perspektif KTSP, menurut BSNP Depdiknas (2006) dan Mulyasa (2006), manajemen
mutu pembelajaran adalah suatu aktivitas yang mengupayakan agar siswa
terkondisi untuk belajar. Belajar sendiri merupakan kegiatan aktif siswa dalam
membangun makna atau pemahaman.
Guru
memberikan dorongan kepada siswa untuk menggunakan otoritasnya dalam membangun
gagasan. Tanggungjawab belajar ada pada diri siswa, tetapi guru
bertanggungjawab untuk menciptakan situasi yang mendorong prakarsa, motivasi
dan tanggungjawab siswa untuk belajar sepanjang hayat. Agar manajemen mutu
pembelajaran berjalan dengan efektif, ada sejumlah prinsip yang menurut
perspektif KTSP harus dipedomani. Prinsip tersebut diangkat dari bebagai
perspektif psikologi (behavioristik, kognitif, humanistik dan gestal), yaitu:
Berpusat pada siswa, ialah bahwa kegiatan pembelajaran hendaknya mengkondisikan
agar siswa belajar sesuai dengan bakat, minat, kemampuan dan potensinya,
Belajar dengan melakukan, ialah memberikan pengalaman nyata sehari-hari,
terkait penerapan konsep, kaidah dan prinsip disiplin ilmu yang dipelajari,
Mengembangkan
kemampuan sosial, ialah memberikan kesempatan kepada siswa mengkomunikasikan
gagasannya kepada siswa lain dan guru, Mengembangkan keingintahuan, imajinasi
dan fitrah bertuhan, sebagai model dasar untuk bersikap peka, kritis, mandiri
dan kreatif serta bertakwa kepada tuhan, Mengembangkan ketrampilan pemecahan
masalah, karena keberhasilan hidup banyak ditentukan oleh kemampuan untuk
memecahkan masalah,
Mengembangkan
kreativitas siswa, dengan cara memberi kesempatan dan kebebasan kepada siswa
untuk berkarya secara bersinambung, Membangun kemampuan menggunakan ilmu dan
teknologi, dengan memberi kesempatan kepada siswa untuk memperoleh informasi
dari berbagai media, Menumbuh-kembangkan kesadaran sebagai warga negara yang
baik,
Belajar
sepanjang hayat, ialah bahwa pembelajaran perlu mendorong siswa untuk melihat
dirinya secara positif, mengenali diri sendiri, percaya diri, memahami diri
sendiri dan orang lain serta mendorong dirinya sendiri untuk terus belajar
sepanjang hayat, dan Adanya perpaduan antara kompetisi, kerja sama dan
solidaritas.
Sementara
itu, manajemen mutu kelas adalah pengaturan terhadap fisik dan psikologis kelas
agar teroskestrasi sehingga menjadi sebuah panggung yang menarik siswa untuk
terlibat dalam proses pembelajaran. Mengingat kelas yang kondusif adalah
prasyarat bagi pembelajaran yang kondusif, maka manajemen mutu kelas juga
menjadi prasyarat mutu pembelajaran.
Ruang
kelas harus diorkestrasikan sehingga memungkinkan aksesibilitas (siswa mudah
menjangkau alat dan sumber belajar), interaksi (hubungan timbal balik
siswa-siswa dan siswa-guru), dan variasi kerja siswa (bekerja perorangan,
berpasangan dan kelompok).
DePorter
(2002) melalui Quantum Teaching mengedepankan perlunya mengorkestrasi kelas
dengan label lingkungan yang mendukung. Kelas yang baik menurutnya didukung
dengan poster ikon, poter afirmasi, warna yang disukai dan menggairahkan, serta
alat bantu belajar.
Guna
menguji bermutu tidaknya suatu kelas, seorang kepala sekolah dapat membunyikan
bel tanda istirahat sebelum pembelajaran selesai. Ketika siswa cepat
berhamburan keluar dari ruangan kelas dan merespon dengan teriak ”hore”, maka
kelas tersebut dipandang tidak begitu bermutu. Sebaliknya jika siswa merespon
dengan ungkapan ”huu...” dan mereka tidak mau keluar dari kelasnya, maka itu
adalah indikator kelas yang bermutu.
Dengan
perkataan lain, kelas yang bermutu adalah menarik secara fisik dan secara
psikologis. Baik kemenarikan secara fisik maupun psikologis, sengaja didisain
oleh manajer sekolah dan diimplementasikan serta diperbaiki secara berulang.
Sejak
beberapa waktu terakhir, kita dikenalkan dengan pendekatan “baru” dalam
manajemen sekolah yang diacu sebagai manajemen berbasis sekolah (school based
management) atau disingkat MBS. Di Amerika Serikat, pendekatan ini sebenarnya
telah berkembang cukup lama. Pada 1988 American Association of School
Administrators, National Association of Elementary School Principals, and
National Association of Secondary School Principals, menerbitkan dokumen
berjudul school based management, a strategy for better learning. Munculnya gagasan
ini dipicu oleh ketidakpuasan atau kegerahan para pengelola pendidikan pada
level operasional atas keterbatasan kewenangan yang mereka miliki untuk dapat
mengelola sekolah secara mandiri. Umumnya dipandang bahwa para kepala sekolah
merasa tak berdaya karena terperangkap dalam ketergantungan berlebihan terhadap
konteks pendidikan. Akibatnya, peran utama mereka sebagai pemimpin pendidikan
semakin dikerdilkan dengan rutinitas urusan birokrasi yang menumpulkan
kreativitas berinovasi.
Di
Indonesia, gagasan penerapan pendekatan ini muncul belakangan sejalan dengan
pelaksanaan otonomi daerah sebagai paradigma baru dalam pengoperasian sekolah.
Selama ini, sekolah hanyalah kepanjangan tangan birokrasi pemerintah pusat
untuk menyelenggarakan urusan politik pendidikan. Para pengelola sekolah sama
sekali tidak memiliki banyak kelonggaran untuk mengoperasikan sekolahnya secara
mandiri. Semua kebijakan tentang penyelenggaran pendidikan di sekolah umumnya
diadakan di tingkat pemerintah pusat atau sebagian di instansi vertikal dan
sekolah hanya menerima apa adanya.
Apa
saja muatan kurikulum pendidikan di sekolah adalah urusan pusat, kepala sekolah
dan guru harus melaksanakannya sesuai dengan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk
teknisnya. Anggaran pendidikan mengalir dari pusat ke daerah menelusuri saluran
birokrasi dengan begitu banyak simpul yang masing-masing menginginkan bagian.
Tidak heran jika nilai akhir yang diterima di tingkat paling operasional telah
menyusut lebih dari separuhnya.
Kita
khawatir, jangan-jangan selama ini lebih dari separuh dana pendidikan
sebenarnya dipakai untuk hal-hal yang sama sekali tidak atau kurang berurusan
dengan proses pembelajaran di level yang paling operasional, sekolah.
MBS
adalah upaya serius yang rumit, yang memunculkan berbagai isu kebijakan dan
melibatkan banyak lini kewenangan dalam pengambilan keputusan serta tanggung
jawab dan akuntabilitas atas konsekuensi keputusan yang diambil. Oleh sebab
itu, semua pihak yang terlibat perlu memahami benar pengertian MBS, manfaat,
masalah-masalah dalam penerapannya, dan yang terpenting adalah pengaruhnya
terhadap prestasi belajar murid.
Manajemen
berbasis sekolah dapat bermakna adalah desentralisasi yang sistematis pada
otoritas dan tanggung jawab tingkat sekolah untuk membuat keputusan atas
masalah signifikan terkait penyelenggaraan sekolah dalam kerangka kerja yang
ditetapkan oleh pusat terkait tujuan, kebijakan, kurikulum, standar, dan
akuntabilitas. Tampaknya pemerintah dari setiap negara ingin melihat adanya
transformasi sekolah. Transformasi diperoleh ketika perubahan yang signifikan,
sistematik, dan berlanjut terjadi, mengakibatkan hasil belajar siswa yang
meningkat di segala keadaan (setting), dengan demikian memberikan kontribusi
pada kesejahteraan ekonomi dan sosial suatu negara. Manajemen berbasis sekolah
selalu diusulkan sebagai satu strategi untuk mencapai transformasi sekolah.
Manajemen
berbasis sekolah telah dilembagakan di tempat-tempat seperti Inggris, dimana
lebih dari 25.000 sekolah telah mempraktikkannya lebih dari satu dekade. Atau
seperti Selandia Baru atau Victoria, Australia atau di beberapa sistem sekolah
yang besar) di Kanada dan Amerika Serikat, dimana terdapat pengalaman sejenis
selama lebih dari satu dekade. Praktik manajemen berbasis sekolah di tempat-tempat
ini tampaknya tidak dapat dilacak mundur. Satu indikasi skala dan lingkup minat
terhadap manajemen berbasis sekolah diagendakan pada Pertemuan Menteri-menteri
Pendidikan dari Negara APEC di Chili pada April 2004. APEC (Asia Pacific
Economic Cooperation) merupakan satu jejaring 21 negara yang mengandung
sepertiga dari populasi dunia. Tema dari pertemuan adalah “mutu dalam
pendidikan” dan tata kelola merupakan satu dari empat sub tema. Perhatian
khusus diarahkan pada desentralisasi. Para menteri sangat menyarankan (endorse)
manajemen berbasis sekolah sebagai satu strategi dalam reformasi pendidikan,
tatapi juga menyetujui aspek-aspek sentralisasi, seperti kerangka kerja bagi
akuntabilitas. Mereka mengakui bahwa pengaturannya akan bervariasi di masing-masing
negara, yang merefleksikan keunikan tiap-tiap setting.
Manajemen
berbasis sekolah memiliki banyak bayangan makna. Ia telah diimplementasikan
dengan cara yang berbeda dan untuk tujuan berbeda dan pada laju yang berbeda di
tempat yang berbeda. Bahkan konsep yang lebih mendasar dari “sekolah” dan
“manajemen” adalah berbeda, seperti berbedanya budaya dan nilai yang melandasi
upaya-upaya pembuat kebijakan dan praktisi. Akan tetapi, alasan yang sama di
seluruh tempat dimana manajemen berbasis sekolah diimplementasikan adalah bahwa
adanya peningkatan otoritas dan tanggung jawab di tingkat sekolah, tetapi masih
dalam kerangka kerja yang ditetapkan di pusat untuk memastikan bahwa satu makna
sistem terpelihara. Satu implikasi penting adalah bahwa para pemimpin sekolah
harus memiliki kapasitas membuat keputusan terhadap hal-hal signifikan terkait
operasi sekolah dan mengakui dan mengambil unsur-unsur yang ditetapkan dalam
kerangka kerja pusat yang berlaku di seluruh sekolah.
Sejak
awal, pemerintah (pusat dan daerah) haruslah suportif atas gagasan MBS. Mereka
harus mempercayai kepala sekolah dan dewan sekolah untuk menentukan cara
mencapai sasaran pendidikan di masing-masing sekolah. Penting artinya memiliki
kesepakatan tertulis yang memuat secara rinci peran dan tanggung jawab dewan
pendidikan daerah, dinas pendidikan daerah, kepala sekolah, dan dewan sekolah.
Kesepakatan itu harus dengan jelas menyatakan standar yang akan dipakai sebagai
dasar penilaian akuntabilitas sekolah. Setiap sekolah perlu menyusun laporan kinerja
tahunan yang mencakup “seberapa baik kinerja sekolah dalam upayanya mencapai
tujuan dan sasaran, bagaimana sekolah menggunakan sumber dayanya, dan apa
rencana selanjutnya.”
Perlu
diadakan pelatihan dalam bidang-bidang seperti dinamika kelompok, pemecahan
masalah dan pengambilan keputusan, penanganan konflik, teknik presentasi,
manajemen stress, serta komunikasi antarpribadi dalam kelompok. Pelatihan ini
ditujukan bagi semua pihak yang terlibat di sekolah dan anggota masyarakat,
khususnya pada tahap awal penerapan MBS. Untuk memenuhi tantangan pekerjaan,
kepala sekolah kemungkinan besar memerlukan tambahan pelatihan kepemimpinan.
Dengan
kata lain, penerapan MBS mensyaratkan yang berikut :
1.
MBS harus mendapat dukungan staf sekolah.
2.
MBS lebih mungkin berhasil jika diterapkan secara bertahap.
3.
Staf sekolah dan kantor dinas harus memperoleh pelatihan penerapannya, pada
saat yang sama juga harus belajar menyesuaikan diri dengan peran dan saluran
komunikasi yang baru.
4.
Harus disediakan dukungan anggaran untuk pelatihan dan penyediaan waktu bagi
staf untuk bertemu secara teratur.
5.
Pemerintah pusat dan daerah harus mendelegasikan wewenang kepada kepala
sekolah, dan kepala sekolah selanjutnya berbagi kewenangan ini dengan para guru
dan orang tua murid.
Beberapa
hambatan yang mungkin dihadapi pihak-pihak berkepentingan dalam penerapan MBS
adalah sebagai berikut :
1.
Tidak Berminat
Untuk Terlibat Sebagian orang tidak
menginginkan kerja tambahan selain pekerjaan yang sekarang mereka lakukan.
Mereka tidak berminat untuk ikut serta dalam kegiatan yang menurut mereka hanya
menambah beban. Anggota dewan sekolah harus lebih banyak menggunakan waktunya
dalam hal-hal yang menyangkut perencanaan dan anggaran. Akibatnya kepala
sekolah dan guru tidak memiliki banyak waktu lagi yang tersisa untuk memikirkan
aspek-aspek lain dari pekerjaan mereka. Tidak semua guru akan berminat dalam
proses penyusunan anggaran atau tidak ingin menyediakan waktunya untuk urusan
itu.
2.
Tidak Efisien
Pengambilan keputusan yang dilakukan
secara partisipatif adakalanya menimbulkan frustrasi dan seringkali lebih
lamban dibandingkan dengan cara-cara yang otokratis. Para anggota dewan sekolah
harus dapat bekerja sama dan memusatkan perhatian pada tugas, bukan pada
hal-hal lain di luar itu.
3.
Pikiran Kelompok
Setelah beberapa saat bersama, para
anggota dewan sekolah kemungkinan besar akan semakin kohesif. Di satu sisi hal
ini berdampak positif karena mereka akan saling mendukung satu sama lain. Di
sisi lain, kohesivitas itu menyebabkan anggota terlalu kompromis hanya karena
tidak merasa enak berlainan pendapat dengan anggota lainnya. Pada saat inilah
dewan sekolah mulai terjangkit “pikiran kelompok.” Ini berbahaya karena
keputusan yang diambil kemungkinan besar tidak lagi realistis.
4.
Memerlukan Pelatihan
Pihak-pihak yang berkepentingan
kemungkinan besar sama sekali tidak atau belum berpengalaman menerapkan model
yang rumit dan partisipatif ini. Mereka kemungkinan besar tidak memiliki
pengetahuan dan keterampilan tentang hakikat MBS sebenarnya dan bagaimana cara
kerjanya, pengambilan keputusan, komunikasi, dan sebagainya.
5.
Kebingungan Atas Peran dan Tanggung Jawab Baru
Pihak-pihak yang terlibat
kemungkinan besar telah sangat terkondisi dengan iklim kerja yang selama ini
mereka geluti. Penerapan MBS mengubah peran dan tanggung jawab pihak-pihak yang
berkepentingan. Perubahan yang mendadak kemungkinan besar akan menimbulkan
kejutan dan kebingungan sehingga mereka ragu untuk memikul tanggung jawab
pengambilan keputusan.
6.
Kesulitan Koordinasi
Setiap penerapan model yang rumit
dan mencakup kegiatan yang beragam mengharuskan adanya koordinasi yang efektif
dan efisien. Tanpa itu, kegiatan yang beragam akan berjalan sendiri ke
tujuannya masing-masing yang kemungkinan besar sama sekali menjauh dari tujuan sekolah.
Apabila pihak-pihak yang
berkepentingan telah dilibatkan sejak awal, mereka dapat memastikan bahwa
setiap hambatan telah ditangani sebelum penerapan MBS. Dua unsur penting adalah
pelatihan yang cukup tentang MBS dan klarifikasi peran dan tanggung jawab serta
hasil yang diharapkan kepada semua pihak yang berkepentingan. Selain itu, semua
yang terlibat harus memahami apa saja tanggung jawab pengambilan keputusan yang
dapat dibagi, oleh siapa, dan pada level mana dalam organisasi.
Anggota
masyarakat sekolah harus menyadari bahwa adakalanya harapan yang dibebankan
kepada sekolah terlalu tinggi. Pengalaman penerapannya di tempat lain
menunjukkan bahwa daerah yang paling berhasil menerapkan MBS telah memfokuskan
harapan mereka pada dua maslahat: meningkatkan keterlibatan dalam pengambilan
keputusan dan menghasilkan keputusan lebih baik.
Strategi
Peningkatan Mutu Pendidikan Melalui Penerapan MBS
Konsep
MBS merupakan kebijakan baru yang sejalan dengan paradigma desentraliasi dalam
pemerintahan. Strategi apa yang diharapkan agar penerapan MBS dapat benar-benar
meningkatkan mutu pendidikan. Salah satu strategi adalah menciptakan prakondisi
yang kondusif untuk dapat menerapkan MBS, yakni :
1. Peningkatan kapasitas dan komitmen seluruh
warga sekolah, termasuk masyarakat dan orangtua siswa. Upaya untuk memperkuat
peran kepala sekolah harus menjadi kebijakan yang mengiringi penerapan
kebijakan MBS. ”An essential point is that schools and teachers will need
capacity building if school-based management is to work”. Demikian De grouwe
menegaskan.
2. Membangun budaya sekolah (school culture)
yang demokratis, transparan, dan akuntabel. Termasuk membiasakan sekolah untuk
membuat laporan pertanggungjawaban kepada masyarakat. Model memajangkan RAPBS
di papan pengumuman sekolah yang dilakukan oleh Managing Basic Education (MBE)
merupakan tahap awal yang sangat positif. Juga membuat laporan secara
insidental berupa booklet, leaflet, atau poster tentang rencana kegiatan
sekolah. Alangkah serasinya jika kepala sekolah dan ketua Komite Sekolah dapat
tampil bersama dalam media tersebut.
3. Pemerintah pusat lebih memainkan peran
monitoring dan evaluasi. Dengan kata lain, pemerintah pusat dan pemerintah
daerah perlu melakukan kegiatan bersama dalam rangka monitoring dan evaluasi
pelaksanaan MBS di sekolah, termasuk pelaksanaan block grant yang diterima
sekolah.
4. Mengembangkan model program pemberdayaan
sekolah. Bukan hanya sekedar melakukan pelatihan MBS, yang lebih banyak
dipenuhi dengan pemberian informasi kepada sekolah. Model pemberdayaan sekolah
berupa pendampingan atau fasilitasi dinilai lebih memberikan hasil yang lebih
nyata dibandingkan dengan pola-pola lama berupa penataran MBS.
Kepemimpinan
kepala sekolah yang efektif dalam MBS dapat dilihat berdasarkan kriteria
berikut:
1. Mampu memberdayakan guru-guru untuk
melaksanakan proses pembelajaran dengan baik, lancar, dan produktif.
2. Dapat menyelesaikan tugas dan pekerjaan
sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan.
3. Mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan
masyarakat sehingga dapat melibatkan mereka secara aktif dalam rangka
mewujudkan tujuan sekolah dan pendidikan.
4. Berhasil menerapkan prinsip kepemimpinan yang
sesuai dengan tingkat kedewasaan guru dan pegawai lain disekolah.
5. Bekerja dengan tim manajemen
6. Berhasil mewujudkan tujuan sekolah secara
produktif sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
Satu
cara yang berguna dalam menyimpulkan adalah melihat tantangan sebagai satu cara
menciptakan suatu jenis sistem pendidikan baru yang sesuai abad ke-21. Kita
membutuhkan sistem-sistem baru yang terus-menerus mampu merekonfigurasi kembali
dirinya untuk menciptakan sumber nilai publik baru. Ini berarti secara
interaktif menghubungkan lapisan-lapisan dan fungsi tata kelola yang berbeda,
bukan mencari cetak biru (blueprint) yang statis yang membatasi berat
relatifnya.
Pertanyaan
mendasar bukannya bagaimana kita secara tepat dapat mencapai keseimbangan yang
tepat antara lapisan-lapisan pusat, regional, dan lokal atau antara
sektor-sektor berbeda: publik, swasta, dan sukarela. Justeru, kita perlu
bertanya Bagaimana suatu sistem secara keseluruhan menjadi lebih dari sekedar
jumlah dari bagian-bagiannya?.
Secara
sederhana dikatakan, manajemen berbasis sekolah bukanlah “senjata ampuh” yang
akan menghantar pada harapan reformasi sekolah. Bila diimplementasikan dengan
kondisi yg benar, ia menjadi satu dari sekian strategi yang diterapkan dalam
pembaharuan terus-menerus dengan strategi yang melibatkan pemerintah,
penyelenggara, dewan manajemen sekolah dalam satu sistem sekolah.