NPSN : 10800266 Jln. SPONTAN Desa SIDOREJO Kec. SIDOMULYO Kab. LAMPUNG SELATAN Prov. LAMPUNG
Data yang Diunggah ke Dapodik Harus Lengkap, Wajar, dan Benar
Jakarta (Dikdas): Tidak tercantumnya nama guru dalam Data Pokok Pendidikan, salah satunya, disebabkan pengisian instrumen data oleh operator sekolah tidak lengkap. Hal demikian diutarakan Supriyatno, S.Pd., M.A, Kepala Sub Bagian Data dan Informasi, Bagian Perencanaan dan Penganggaran, Sekretariat Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, menanggapi keluhan sejumlah guru yang namanya belum tercantum dalam Dapodik sehingga khawatir tidak dapat tunjangan.
Seharusnya data yang dimasukkan dalam aplikasi Dapodik lengkap. Jangan sampai ada variabel yang kosong dan terlewat diisi. Jika ada satu saja variabel tak diisi, maka data secara keseluruhan tidak bisa diolah. “Misalnya saya mengajar, tapi rombongan belajarnya (rombel) tidak diisi, bagaimana bukti mengajarnya?” ucapnya.
Data Pokok Pendidikan merupakan program pendataan yang digalang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk menjaring tiga entitas data pokok pendidikan di seluruh Indonesia secara individual dan relasional. Tiga entitas data tersebut yaitu peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan (PTK), dan satuan pendidikan. Penjaringan dilakukan secara daring (dalam jaringan—online). Instrumen pendataan pun dapat diunduh dari laman Dapodik.
Secara teknis, kepala sekolah mengumpulkan instrumen pendataan terkait siswa, guru, dan sekolah. Data tersebut kemudian diserahkan kepada operator yang bertugas mengunggah data ke sistem Dapodik. “Sistemnya bukan individu guru yang mengisi, tapi operator sekolah. Karena yang punya akses, kan, operator,” jelas Supriyatno.
Dari mekanisme itu, Supriyatno menilai, tidak lengkapnya data yang diunggah ke sistem Dapodik merupakan tanggung jawab kepala sekolah. “Mereka tidak aware terhadap pentingnya data harus lengkap, wajar, dan benar,” tegasnya.
Ia mencontohkan pendataan Dapodik di Kebumen dan Indramayu. Tak ada komplain dari kedua kabupaten tersebut lantaran operator menjalankan tugasnya dengan benar. Maka ia berharap kepala sekolah memberi perhatian lebih kepada operator karena tugas mereka lumayan berat. “Sekolah-sekolah yang perhatian terhadap operatornya, operatornya bekerja dengan tenang. Semua variabel datanya dilengkapi. Mereka mulus saja,” ungkapnya.
Namun Supriyatno menggarisbawahi, aplikasi Dapodik tidak menentukan seorang guru mendapat tunjangan atau tidak, melainkan sekadar menyajikan data secara individual dan terelasi dengan sekolah dan rombongan belajar yang diemban/diampu. Dapodik sekadar bahan mentah yang digunakan Direktorat Pembinaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pendidikan Dasar untuk menyalurkan tunjangan sesuai kriteria dan aturan yang telah ditentukan.
Hingga 11 April 2013 pukul 17.00 WIB, pendataan Dapodik telah berjalan 96,5 persen. Dari total 184.498 SD dan SMP di seluruh Indonesia, 178.049 sekolah telah memasukkan datanya dan sekolah yang belum terjaring berjumlah 6.449. Dua provinsi yaitu Kepulauan Bangka Belitung dan D.I. Yogyakarta telah 100 persen tuntas menjaring Dapodik.
Untuk mengejar ketuntasan pendataan dan meningkatkan kualitas Dapodik, Supriyatno mengerahkan 15 operator pendataan. “Kita banyak fasilitas layanan kepada sekolah agar mereka bisa memperbaiki data secara baik dan cepat,” tegasnya. Fasilitas tersebut di antaranya broadcast, telepon, jejaring sosial Facebook, surat elektronik (email), dan surat pos. Mereka pun siap melayani operator sekolah yang datang ke sekretariat Dapodik.
Direktur Pembinaan PTK Dikdas Sumarna Surapranata, Ph.D mengatakan, data guru yang mendapatkan tunjangan diambil dari Dapodik. Selain itu, karena pendataan Dapodik belum mencapai 100 persen, maka pendataan dilakukan secara manual. “Yang kita gunakan secara total dengan Dapodik plus manual,” ucapnya.
Pengecekan secara manual dengan menghubungi operator sekolah melalui surat elektronik, pesan layanan singkat, atau surat pos. Pengecekan juga bisa melalui kepala sekolah dan dinas pendidikan setempat.
Ki Hadjar
Dewantara
Dari
Wikipedia bahasa Indonesia
Ki Hadjar
Dewantara
Raden Mas Soewardi Soerjaningrat (EYD: Suwardi
Suryaningrat, sejak 1922 menjadi Ki Hadjar Dewantara, EYD: Ki
Hajar Dewantara, beberapa menuliskan bunyi bahasa Jawanya dengan Ki Hajar
Dewantoro; lahir di Yogyakarta, 2 Mei 1889 – meninggal
di Yogyakarta, 26
April 1959 pada
umur 69 tahun[1];
selanjutnya disingkat sebagai "Soewardi" atau "KHD") adalah
aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, kolumnis, politisi, dan
pelopor pendidikan
bagi kaum pribumi
Indonesia
dari zaman penjajahan Belanda. Ia adalah pendiri
Perguruan Taman
Siswa, suatu lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan bagi para
pribumi jelata untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti halnya para priyayi maupun
orang-orang Belanda.
Tanggal kelahirannya sekarang diperingati di Indonesia
sebagai Hari Pendidikan Nasional. Bagian dari semboyan
ciptaannya, tut wuri handayani, menjadi slogan Kementerian Pendidikan
Nasional Indonesia. Namanya diabadikan sebagai salah sebuah nama kapal
perang Indonesia, KRI Ki Hajar Dewantara. Potret dirinya
diabadikan pada uang kertas pecahan 20.000 rupiah tahun emisi 1998.[2]
Ia dikukuhkan sebagai pahlawan nasional yang ke-2 oleh
Presiden RI, Soekarno,
pada 28
November 1959
(Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 305 Tahun 1959, tanggal 28
November 1959)[3].
Masa muda dan awal karier
Soewardi berasal dari lingkungan keluarga Keraton Yogyakarta. Ia menamatkan pendidikan
dasar di ELS
(Sekolah Dasar Eropa/Belanda). Kemudian sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah
Dokter Bumiputera), tapi tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian ia bekerja
sebagai penulis dan wartawan di beberapa surat kabar,
antara lain, Sediotomo, Midden Java, De Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Pada masanya, ia
tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya komunikatif dan tajam dengan
semangat antikolonial.
Aktivitas pergerakan
Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia
juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Sejak berdirinya Boedi
Oetomo (BO) tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda untuk
menyosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia (terutama Jawa)
pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan
bernegara. Kongres pertama BO di Yogyakarta
juga diorganisasi olehnya.
Soewardi muda juga menjadi anggota organisasi Insulinde,
suatu organisasi multietnik yang didominasi kaum
Indo yang memperjuangkan pemerintahan sendiri di Hindia Belanda, atas
pengaruh Ernest Douwes Dekker (DD). Ketika kemudian DD
mendirikan Indische Partij, Soewardi diajaknya pula.
Als ik een Nederlander was
Sewaktu pemerintah Hindia Belanda berniat
mengumpulkan sumbangan dari warga, termasuk pribumi, untuk perayaan kemerdekaan
Belanda dari Perancis
pada tahun 1913, timbul reaksi kritis dari kalangan nasionalis, termasuk
Soewardi. Ia kemudian menulis "Een voor Allen maar Ook Allen voor
Een" atau "Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga".
Namun kolom KHD yang paling terkenal adalah "Seandainya Aku Seorang
Belanda" (judul asli: "Als ik een Nederlander was"), dimuat
dalam surat
kabar De Expres pimpinan DD, 13 Juli 1913. Isi artikel ini
terasa pedas sekali di kalangan pejabat Hindia Belanda. Kutipan tulisan tersebut
antara lain sebagai berikut.
"Sekiranya
aku seorang Belanda,
aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah
kita rampas sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan
saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan
sumbangan untuk dana perayaan itu. Ide untuk menyelenggaraan perayaan itu saja
sudah menghina mereka, dan sekarang kita keruk pula kantongnya. Ayo teruskan
saja penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda, hal yang
terutama menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku ialah kenyataan
bahwa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu kegiatan yang tidak ada
kepentingan sedikit pun baginya".
Beberapa pejabat Belanda menyangsikan tulisan ini
asli dibuat oleh Soewardi sendiri karena gaya bahasanya yang berbeda dari
tulisan-tulisannya sebelum ini. Kalaupun benar ia yang menulis, mereka
menganggap DD berperan dalam memanas-manasi Soewardi untuk menulis dengan gaya
demikian.
Akibat tulisan ini ia ditangkap atas persetujuan
Gubernur Jenderal Idenburg dan akan diasingkan ke Pulau
Bangka (atas permintaan sendiri). Namun demikian kedua rekannya, DD dan Tjipto Mangoenkoesoemo, memprotes dan
akhirnya mereka bertiga diasingkan ke Belanda (1913). Ketiga tokoh ini dikenal
sebagai "Tiga Serangkai". Soewardi kala itu baru berusia 24 tahun.
Dalam pengasingan
Dalam pengasingan di Belanda, Soewardi aktif
dalam organisasi para pelajar asal Indonesia, Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia).
Di sinilah ia kemudian merintis cita-citanya
memajukan kaum pribumi dengan belajar ilmu pendidikan hingga memperoleh Europeesche
Akte, suatu ijazah pendidikan yang bergengsi yang kelak menjadi pijakan
dalam mendirikan lembaga pendidikan yang didirikannya. Dalam studinya ini
Soewardi terpikat pada ide-ide sejumlah tokoh pendidikan Barat, seperti Froebel dan Montessori,
serta pergerakan pendidikan India, Santiniketan, oleh keluarga Tagore.
Pengaruh-pengaruh inilah yang mendasarinya dalam mengembangkan sistem
pendidikannya sendiri.
Taman Siswa
Soewardi kembali ke Indonesia pada bulan
September 1919. Segera kemudian ia bergabung dalam sekolah binaan saudaranya.
Pengalaman mengajar ini kemudian digunakannya untuk mengembangkan konsep
mengajar bagi sekolah yang ia dirikan pada tanggal 3 Juli 1922: Nationaal
Onderwijs Instituut Tamansiswa atau Perguruan Nasional Tamansiswa. Saat ia
genap berusia 40 tahun menurut hitungan penanggalan
Jawa, ia mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara. Ia tidak lagi
menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia
dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun jiwa.
Semboyan dalam sistem pendidikan yang dipakainya
kini sangat dikenal di kalangan pendidikan Indonesia. Secara utuh, semboyan itu
dalam bahasa
Jawa berbunyi ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri
handayani. ("di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di
belakang memberi dorongan"). Semboyan ini masih tetap dipakai dalam dunia
pendidikan rakyat Indonesia, terlebih di sekolah-sekolah Perguruan Tamansiswa.
Pengabdian pada masa Indonesia merdeka
Patung Ki Hajar Dewantara
Dalam kabinet pertama Republik Indonesia, KHD
diangkat menjadi Menteri
Pengajaran Indonesia (posnya disebut sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran
dan Kebudayaan) yang pertama. Pada tahun 1957 ia mendapat gelar doktor
kehormatan (doctor honoris causa, Dr.H.C.) dari universitas
tertua Indonesia, Universitas Gadjah Mada. Atas jasa-jasanya
dalam merintis pendidikan umum, ia dinyatakan sebagai Bapak Pendidikan Nasional
Indonesia dan hari kelahirannya dijadikan Hari Pendidikan Nasional (Surat
Keputusan Presiden RI no. 305 tahun 1959, tanggal 28 November 1959).
Ia meninggal dunia di Yogyakarta tanggal 26 April
1959 dan dimakamkan di Taman Wijaya Brata.
Referensi
1.
^ Ini adalah versi Perguruan Tamansiswa dan Kepustakaan
Presiden Perpustakaan Nasional Republik
Indonesia, tokohindonesia.com menyebutkan 28 April 1959 sebagai tanggal
wafat.
2.
^
Uang
Kertas Bank Indonesia Pecahan: Rp. 20.000,-, Bank Indonesia, diakses
tanggal 26 April 2011.
Langganan:
Postingan (Atom)
Tentang RA Kartini
Museum Kartini- Jejak Sejarah Yang Terabaikan
Opini tentang Kebaya : Antara Keteraturan dan Keterkungkungan
Riwayat Hidup R.A Kartini - Antara Pernikahan dan "Poligami"
RA Kartini – Sebuah Inspirasi Bagi Wanita Indonesia
Biografi RA Kartini - Uraian Singkat dan Lengkap Tentang Kartini
SILABUS SD/MI